Senin, 20 Mei 2013

Yayasan Darul Muttaqien Temanggung

islam kita ? benarkah karena keyakinan kita

“Kemungkinan besar bahwa ‘Allah’ yang anda sembah bukan ‘Allah’ yang memberikan wahyu pada Muhammad, melainkan ‘Allah’ ciptaan pikiran anda sendiri. ‘Allah’ yang picik seperti anda.”[1]
Agama sebenarnya bisa membuat hati seseorang merasa sejuk, Agama sebenarnya bisa membuat hati penganutnya begitu teramat rajin menjalani apa yang menjadi garis-garis besarnya, Agama sebenarnya mampu membuat hati pengikutnya begitu damai, tenang dan tenteram dan mampu menumbuhkan cinta yang luar biasa dahsyatnya hingga ia bersedia mengorbankan apa saja bahkan nyawanya demi melindungi agama yang ia peluk, dan tak akan merelakan sedikit saja agama yang di anutnya dihina, dicerca atau disakiti. Ia mampu membuat hati merasa tenang dan sejuk bagaikan telaga bening ditengah hutan, ia mampu membuat pikiran manusia merasa damai tanpa ada secuil pikiran untuk bertindak secara anarkhis. Tapi perasaan semacam itu hanya mampu dirasakan oleh manusia yang benar-banar beragama, benar-benar tahu agama yang dianutnya, benar-benar beragama karena keyakinan hatinya, dan benar-benar mengenal Tuhannya yang selalu ia sembah. Bukan tuhan hasil rekaan imajinasinya, bukan Tuhan gambaran para guru-gurunya dan bukan Tuhan yang dihasilkan oleh pikiran kerdilnya. Hal semacam ini hanya mampu dihasilkan oleh fikiran yang terbuka dan adil dalam menilai bermacam agama dan aliran yang ada. Dan hal ini juga yang dilakukan oleh para nabi-nabi terdahulu yang mampu berfikir dan menyimpulkan agama yang ada serta berhasil menemukan agama yang yang benar-benar mampu membuat hatinya kepincut hingga ketika cintanya begitu dalam ia tak gentar oleh siksaan yang dirasakannya, perasaan hatinya begitu kuat dan tak mampu digoyahkan dengan deraan dan siksaan atau juga rayuan harta dunia seisinya.
Ibrahim El-Khallil dilahirkan oleh keluarga yang bertuhankan berhala, dibesarkan dan dididik oleh lingkungan yang beragamakan berhala, bahkan ayahnya (Azar) merupakan salah satu tokoh terpandang yang dipercaya oleh masyarakatnya untuk membuat tuhan-tuhan tersebut. Namun Ibrahim adalah seorang yang tidak hanya bertaqlid buta terhadap ajaran keluarganya. Fikirannya berkembang dan ketika pertanyaan-pertanyaan semacam ‘Kenapa benda mati harus dijadikan tuhan’ tak mampu dijawabnya ia berani menyimpulkan bahwa agama yang dianut oleh keluarga dan masyarakatnya adalah sesat[2]. Ibrahim merupakan orang terpelajar, ia tidak hanya berani memvonis agama kaumnya sebagai agama sesat, namun Ibrahim berusaha mencari solusi dan jalan keluarnya, ia terus mencoba mencari agama dan mencoba mencari Tuhan. Dalam perjalanan pencarian tuhannya ketika malam tiba dilihatnya Bintang Ibrahim melihat bintang yang berkilauan diangkasa maka ia menganggapnya tuhan, namun ketika bintang itu lenyap ia tak mau bertuhankan bintang lagi, lalu dilihatnya bulan dan ia bertuhankan bulan yang lebih besar dari bintang, namun ketika bulan itu tenggelam, kembali ia tak mau bertuhankan “tuhan” yang lenyap, dan ketika fajar muncul dan dilihatnya matahari, hatinya gembira merasa menemukan tuhan bahkan ia sempat berkata “Inilah tuhan, inilah yang terbesar” namun ketika senja menjelang dan matahari itupun kembali keperaduannya, hatinya kembali bimbang, karena Tuhan tak akan pernah lenyap atau tenggelam. Ibrahim kuat dalam prinsip dan pendiriannya, bahkan ketika ia belum menemukan tuhannya sekalipun ia berani mengemukakan kepada masyarakatnya “Sesungguhnya aku hanya menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan keyakinan agama yang benar dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan tuhan”.[3] Dari pengembaraan pencarian agama yang benar ini Ibrahim menemukan tuhannya ia menemukan agama yang membuat damai dan tenang jiwanya, hingga ketika ia berda’wah mengajak umatnya untuk memeluk agama yang dianutnya dan diancam akan dibakar di api, Ibrahim tidak gentar dengan siksaan yang akan dihadapinya dengan keyakinan kuat, Ibrahim terus memegang erat agamanya dan dengan pertolongan Tuhan Ibrahim selamat dari api yang membakarnya.
Keyakinan yang mengakar dihati sanubari Ibrahim begitu kuat, karena ia sendiri yang berhasil menemukan agama barunya, bukan karena pendidikan orang tua dan lingkungan, juga bukan karena mayoritas penduduk yang beragamakan berhala. Dan keyakinan Ibraim terhadap agama yang diyakininya ini terus diuji oleh Tuhan seberapa kuat keimanan hatinya; hingga ketika sampai kepada Ibrahim berita yang tak masuk akal bahwa ia harus membunuh anak kandungnya sendiri dengan menyembelihnya, Ibrahim dengan keyakinan penuh dan tanpa ada keraguan berangkat untuk menyembelih putranya (Ishaq), meski setelah itu Tuhan menggantikannya dengan seekor kambing kibas. Kecintaan terhadap Tuhan dan agamanya melebihi kecintaan terhadap siapa dan apapun, ini yang dibuktikan oleh Ibrahim. Mungkin didunia ini tak akan ada satu orangpun yang dengan rela hati mengorbankan putranya sendiri, darah dagingnya sendiri untuk dikorbankan kepada Tuhan yang disembahnya dengan menggunakan tangannya sendiri dalam memenggal leher anak kandungnya sendiri selain Ibrahim. Dan mungkin juga didunia ini hanya ada Ibrahim yang meyakini bahwa agama yang benar menyuruh menyembelih putranya sendiri, orang lain kemungkinan besar akan segera keluar dari agama tersebut dan segera memvonis bahwa agama yang menyuruh membunuh putranya sendiri yang tak berdosa adalah agama yang sesat.
Musa AS. Lahir dari seorang ibu muslimah namun besar lingkungan yang mentuhankan manusia (Fir’aun / Ramses / Pharos). Dari kecil ia hidup dalam lingkungan ‘kerajaan tuhan’ itu sendiri. Benar ia lebih beruntung dari bayi-bayi laki-laki lainnya yang harus dibunuh karena takutnya ‘sang tuhan’ terhadap jatuhnya kerajaannya setelah seorang penta’wil mimpi mengabarkan bahwa akan datang seorang anak laki-laki yang kelak akan menjatuhkan kekuasaannya. Namun meski Musa tumbuh dalam lingkungan paksaan mentuhankan  Fir’aun, Musa besar dalam belaian dan kasih sayang seorang ibu yang sholihah (Asyiah) meski sang ibu itu sendiri sebenarnya adalah salah satu istri ‘sang tuhan’.
Tetapi walau Musa besar dalam lingkungan masyarakat yang mentuhankan manusia, Musa tidak begitu saja menerima keyakinan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Musa tetap berfikiran jernih dan berusaha menemukan tuhan dan agama yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika Musa mempunyai mertua seorang nabi yaitu Nabi Syuaib setelah menikahi putrinya di Madyan, Musa tidak begitu langsung menerima agama mertuanya, delapan tahun Musa bersama Nabi Syuaib, namun Musa masih terus berusaha mencari Tuhan yang akan dianutnya. Memang ajaran yang diajarkan oleh nabi Syuaib berbeda dengan keyakinan masyarakat tempat kelahirannya di Mesir/Egypt, Syuaib mengajarkan tentang ketauhidan dan keesaan Tuhan, hatinya tergerak namun Musa tidak begitu saja mau menerimanya. Hingga ketika malam yang dingin tiba dan Musa bersama keluarganya hendak kembali ke Mesir, dilihatnya api dilereng bukit Tursina. Ia berkata pada keluarganya “Tunggulah disini ! aku melihat api, semoga aku dapat membawa suatu berita kepadamu, atau setidaknya aku mendapat sesuluh api, agar kita dapat menghangatkan badan” lalu Musa berusaha mendaki bukit padang pasir terjal tersebut dan menuju ketempat cahaya api yang dilihatnya dan ketika Musa sampai ditempat itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah sebelah kanannya, dari sebatang pohon kayu : “Hai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan semesta alam.”[4] Suara itu memang muncul dari arah pohon kayu, namun dengan begitu Musa menemukan Tuhannya, Musa menemukan agama barunya yang benar-benar membuat tenang jiwa dan hatinya. Musa menemukan tuhan dihatinya tidak pada sebatang pohon kayu dan pohon kayu yang mengeluarkan suara itu tidak dijadikan tuhan oleh Musa melainkan hanya perantara Tuhan dalam menyampaikannya pada Musa. Ia tidak langsung mengambil kesimpulan bahwa sesuatu yang mustahil terjadi atau sesuatu yang diluar kebiasaan dianggapnya tuhan, Pohon kayu yang mengeluarkan suara itu tidak dijakan tuhan seperti halnya ketika seorang penganutnya yang bernama Samiri menggoyahkan keimanan Bani Israel dengan mengatakan patung anak sapi yang terbuat dari emas dan mampu mengeluarkan suara adalah tuhan. Hal ini terjadi setelah Musa memenangkan pertandingan Sihir yang diadakan oleh Fir’aun untuk mengetahui apakah Musa benar seorang Nabi, dari kejadian itu seluruh ahli Sihir anak buah Fir’aun mengamini bahwa Musa benar seorang nabi meski kemudian mereka harus dipotong kaki dan kanannya oleh algojo Fir’aun karena mengingkari ketuhanan Fir’aun. Setelah kejadian itu Fir’aun murka besar dan mengerahkan seluruh batalyon tentaranya untuk mengejar Musa dan kawanannya hidup atau mati, bahkan pasukan itu dikomandoi oleh Fir’aun sendiri. Musa memang melarikan diri hingga terpojok di pinggir pantai laut Merah Kapsyia dan Tuhan mewahyukan agar memukul tongkatnya pada permukaan air dan dengan keajaban Tuhan, laut Merah terbelah membentuk sebuah jalan. Namun Musa juga seorang manusia yang mempunyai rasa takut hingga Tuhan mengutus Jibril dengan mengendarai Buraq untuk menuntun Musa menlewati dasar laut yang terbelah. Namun kejadian ini dilihatnya oleh Samiri yang mempunyai ilmu kebatinan dalam, ia melihat buraq itu berjalan didepan Musa dan dalam kesempatan itu ia mengambil segenggam pasir bekas injakan telapak kaki Buraq. Setelah Musa selamat sampai daratan sebelah maka berjalanlah hari demi hari dengan beribadah kepada Tuhan. Dalam beribadah kepada Tuhan, Musa mengasingkan diri ditemani teman setianya Yusya’ bin Nun dan kepemimpinan umatnya diserahkan pada saudaranya Nabi Harun, pada saat itu Samiri membuat sebuah patung anak sapi dari emas dan pasir bekas injakan Buraq ia lemparkan pada patung tersebut dan dengan keajaiban, patung itu mampu bersuara. Melihat kejadian itu Samiri memutuskan bahwa patung tersebut adalah Tuhan dan Tuhannya Musa. Hal ini membuat bani Israel kembali murtad dan mentuhankan patung sapi tersebut. Mereka cepat mengambil keputusan bahwa hal yang diluar kebiasaan adalah tuhan tidak seperti Musa yang tidak mentuhankan pohon kayu yang mengeluarkan suara. Sementara Fir’aun ditemukan tenggelam dalam laut merah oleh para ilmuwan ini diklaim sebagai Fir’aun keempat yang mengejar Musa dengan salah satu buktinya bahwa dalam paru-parunya ditemukan kandungan garam. Tuhan tidak membuat busuk jazad Fir’aun ini untuk sebagai tanda peringatan tentang kekuasaan Tuhan. Kini Jenazah mumi Fir’aun ini dapat disaksikan di museum Mesir.
Muhammad SAW. Besar dalam lingkungan masyarakat yang bertuhankan berhala. Keluarganya sebagian besar penganut agama ini, tanpa belaian kasih sayang seorang ayah, Muhammad tumbuh besar diantara orang-orang yang memuja benda-benda mati tersebut. Namun kecerdasan otak Muhammad menolak agama yang tak bisa dikogika tersebut, mereka memahatnya, membentuknya rupa sesuka hati lalu menganggap karyanya sendiri sebagai tuhan. Muhammad tidak butuh waktu lama untuk memutuskan bahwa keyakinan yang dianut oleh masyarakatnya adalah sesat. Muhammad tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya yang ikut mentuhankan berhala, Ia berusaha mencari dan menemukan Tuhan dengan fikiran, bila dalam rumahnya Muhammad tak pernah bisa berkonsentrasi, maka Muhammad menyendiri disebuah gua sempit berbatuan pada lereng sebuah gunung kecil. Tapi dimanakah kebenaran itu? Ia tidak berharap bahwa kebenaran yang dicarinya terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan pendeta. Ia berharap kebenaran akan muncul dari alam semesta, dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam redup cahaya bulan dan terik matahari, dalam kerikil-kerikil padang pasir, dalam laut dan deburan ombak yang tiada pernah berhenti. Apa asal semua yang terjadi disekelilingnya?  Dari mana sumbernya? Siapa yang mengganti gelap malam menjadi terang siang? Siapa yang menggerakkan angin? Siapa yang mengatur datangnya awan dan hujan? Muhammad mencoba merenung memeras otak dan mencoba menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang terus menghujam hatinya. Dan Tuhan tidak berdiam diri membiarkan hambanya dalam kebingungan. Suatu malam diantara malam-malam ketika ia berkhalwat digua Hira, Muhammad menampak sesosok makhluk yang sangat besar diufuk yang tinggi. Jibril menampakkan wajah aslinya dan membuat Muhammad yang belum pernah melihat dan mengenal sosok makhluk itu bergetar keras, jantungnya berdegup kencang apalagi ketika sosok makhluk itu kemudian mendekati dirinya lalu berubah menyerupai manusia, Jibril semakin dekat dan dekat hingga berada tepat dihadapan mukanya dan terus semakin dekat hingga jaraknya hanya sekitar dua ujung busur panah bahkan lebih dekat lagi.[5] Lalu makhluk itu menyampaikan suatu berita tentang ketauhidan dan memperkenalkan Tuhan yang sebenarnya.
Pada peristiwa 6 Agustus 610 ini Muhammad menemukan Tuhan yang sebenar-benarnya, ia menemukan suatu keyakinan yang lain dari keyakinan masyarakatnya, ia menemukan suatu agama yang membuat hatinya tenang dan damai dengan keteguhan kuat menancap dihatinya.
Muhammad SAW mendapat mandat dari Tuhannya untuk menyelamatkan umatnya dari kesesatan, Ia dilantik menjadi nabi dan rasul sekaligus mengakhiri tugas para nabi-nabi terdahulu untuk kembali meluruskan ketauhidan umatnya.
Dalam da’wahnya, Muhammad SAW mendapat tantangan keras oleh mereka yang di sebut ‘Jahiliyah’ (Kebodohan) karena mereka membuat tuhannya sendiri dari benda mati yang terang tak mempunyai kekuasaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Namun diantara sekian banyak manusia yang menyembah berhala-berhala itu apakah satupun tidak ada yang berfikiran rasional? diantara mereka banyak yang berfikiran rasional dan mengetahui bahwa tuhan yang mereka puja adalah hanya sebongkah batu atau dahan kayu yang tidak akan pernah mampu menolong penyembahnya atau menyiksa pembangkangnya. Namun tetap saja orang-orang itu menyembahnya karena meraka lahir dari rahim seorang ibu penyembah berhala, lalu besar dan dididik dalam lingkungan para penyembah berhala, mereka dicekoki keyakinan orang tua dan kakek neneknya yang menjadikan berhala sebagai tuhan. otak fikiran mereka tentang sesuatu yang lebih luas dari sekedar asal percaya dan asal mengikuti terbentur keyakinan yang telah mereka hisap sejak lahir. Dan itulah sebabnya ketika Muhammad SAW mengajaknya berpindah agama mereka menjawab : “Cukuplah bagi kami, apa (agama) yang kami terima dari bapa-bapa kami”.[6] Mereka beragamakan bukanlah karena keyakinan hatinya, mereka hanya mengikuti agama orang tua mereka, mereka hanya taqlid buta dan menolak agama Muhammad sebelum mereka mau belajar dan mengetahui isi dari agama Muhammad tersebut. Lain halnya bagi mereka yang mau mencerna agama yang selama ini mereka kerjakan sebagai penyembah berhala dan mau mempelajari agama Muhammad dengan seksama lewat pelajaran yang berlaku (baca: Mu’jizat) dipastikan mereka akan menerima agama Muhammad dengan senang hati tanpa unsur paksaan. Tidak bagi mereka yang masuk Islam karena ikut-ikutan tanpa mempelajari lebih dahulu maka mereka kembali murtad dan menyembah berhala lagi setelah mendapati pelajaran yang bagi mereka tidak masuk akal seperti terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj yang memang diluar akal sehat manusia, dan seandainya agama menyuruh mereka membunuh anak kandung kesayangannya seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim, maka tak akan memakan waktu lama, mereka pasti mengklaim bahwa agama yang dibawa Muhammad adalah sesat.
Lain halnya bagi mereka yang beragamakan karena mempelajari dahulu agama yang dianut, maka keyakinan mereka tidak pernah lekang oleh waktu. Keyakinan yang begitu kuat tak mampu dilumpuhkan walau harus berbaring tanpa pakaian diatas panasnya padang pasir dengan sebongkah batu menindih badannya seperti Billal bin Rabah, atau harus mengalami deraan cambuk dan panasnya api seperti Amar bin Yasir. Keyakinan dalam beragama yang begitu kuat itu muncul karena agama yang dianut adalah pilihan hatinya, karena dorongan jiwanya hingga menumbuhkan cinta yang luar biasa dahsyatnya. Bagi mereka Islam dan Muhammad adalah hidupnya jangankan hanya harta kekayaan untuk disumbangkan demi kemajuan agama seperti Salman Al-Farisi, Nyawa akan mereka persembahkan demi tegaknya agama yang mereka yakini.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan zaman onta adalah zaman sekarang yang semuanya serba ultra modern ini. Mungkin sebagian besar dari kita beragamakan Islam, tapi benarkah Islam yang kita peluk ini adalah karena pilihan kita? Rasanya tidak. Kita beragamakan Islam karena kita dilahirkan oleh orang tua kita yang ‘kebetulan’ Islam, besar dalam lingkungan kita yang mayoritas Islam, dididik dalam pendidikan Islam dan kita terus dicekoki dengan hukum dan perilaku Islam. Seandainya orang tua kita kebetulan beragama Nasrani, apakah kita mungkin akan memilih Islam, bisa diyakinkan seratus limapuluh persen kita akan beragamakan Nasrani. Lalu kenapa sekarang ketika kita sudah bisa berfikir dan memilih serta menilai suatu keadaan, kita masih beragamakan Islam?. Mungkin jawaban kita adalah bahwa karena Islam adalah agama yang benar, dalam arti lain agama selain Islam adalah agama yang tidak benar. Kita menilai bahwa agama Islam adalah agama yang benar karena kita beragamakan Islam, kita akan terus bersikokoh bahkan mungkin keras berargumen bahwa agama yang paling benar adalah agama Islam. kenapa? Karena sejak lahir kita terus dicekoki bahwa agama yang benar adalah agama Ialam, dan kita terus diracuni bahwa agama selain Islam adalah tidak benar, bahkan kita kadang tidak merasa bahwa kita telah dibujuk untuk membenci agama selain Islam. Coba tanyakan pada mereka yang beragamakan Kristen, apa agama yang benar, mereka pasti menjawab bahwa agama yang benar adalah agama Kristen, lalu tanyakan pada mereka yang Budha, Hindu atau agama lain. Maka jawaban mereka adalah agama yang benar adalah agama yang mereka peluk dan Islam bagi mereka adalah salah satu diantara agama yang kurang benar. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa agama yang benar adalah agama yang mereka peluk. Kalau kita meneropong dari sisi tidak berpihak maka kita akan dihadapkan pada satu dilema dimana semua agama adalah benar. Kalau selama ini kita memvonis bahwa agama selain Islam adalah agama yang salah. Kita seharusnya tahu letak kesalahan itu. Apa karena mereka menyembah Yesus, atau karena mereka menyembah Dewa Syiwa? Bukankah bagi mereka Dia adalah Tuhan seperti halnya kita mentuhankan Allah?
Seharusnya kita tidak mengatakan bahwa Yesus bukanlah tuhan dan Trinitas adalah paham yang sesat sebelum kita tahu siapa Yesus dan apa Trinitas. Seperti halnya kita tidak boleh mengatakan orang yang berjalan kearah barat adalah sesat sebelum kita tahu siapa orang itu dan apa tujuan mereka berjalan kearah barat. Karena suatu agama yang bisa dianut adalah agama yang sempurna, agama yang tanpa cela, Tuhan yang sempurna, Nabi yang sempurna, Kitab pedoman yang sempurna. Kesempurnaan agama dan ajaran agama itu sendiri bersih dari segala bentuk kesalahan dan kesalahan itu sendiri muncul tidak dari ajaran pihak luar. Kita tidak harus menjadi penganut agama Kristen untuk mengetahui letak kesalahan agama Kristen itu sendiri, kita cukup mendalami ajaran agama kristen dengan mengesampingkan ajaran Islam untuk sementara, (bukan berarti kita harus murtad). 
Disini kami akan mencoba mengemukakan sedikit kesalahan diantara kesalahan yang sangat banyak yang kami temui dalam agama yang mereka anut bukan dari kacamata Islam tapi dari ajaran itu sendiri. Dalam agama Kristen diakidahkan bahwa Tuhan adalah trinitas yang berarti Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus yaitu tiga kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun kitab Injil itu sendiri membantah hal tersebut yang isinya “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah yang Esa, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu”[7] diayat ini disebutkan bahwa Tuhan adalah Esa yang berarti satu atau Tunggal[8] dan ayat ini juga menyebutkan bahwa bahwa Yesus Kristus adalah pesuruh Allah (rasul) bukan tuhan. Diayat lain yang menyangkal trinitas adalah “Maka kepadamulah ia ditunjuk, supaya diketahui olehmu bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan yang Esa tiadalah yang lain lagi”[9] lalu lagi “Maka jawab Yesus kepadanya. Hukum yang utama ialah: Dengarlah olehmu hai Israel, adapun Allah tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa”[10] salah satu kelemahan keyakinan Kristen diantaranya lagi adalah Yesus yang sebagai tuhan tapi tunduk kepada iblis dan bisa dibawa kepuncak gunung[11]. Dan seandainya orang kristen menganggap Yesus sebagai Tuhan karena Yesus anak Allah seharusnya juga orang Kristen tidak hanya bertuhankan Yesus, karena dalam kitabnya orang Kristen itu sendiri mengatakan bahwa Daud anak Allah yang sulung[12], Yacub (Israil) adalah anak Allah yang sulung[13], Afrain adalah anak Allah yang sulung[14]. Dalam kitab ini akan sangat membingungkan karena yang dianggap anak Allah tidak hanya Yesus melainkan masih ada yang lain, itupun semua dianggap sulung. Satu lagi kesalahan adalah “Maka jawab Yesus : Tiadalah aku disuruhkan kepada yang lain hanya kepada segala domba yang sesat diantara bani Israel”[15], Bila mengkaji ayat ini yang menerangkan bahwa Yesus hanya diutus untuk menyelamatkan Bani Israel, lalu kenapa mereka yang tidak bani Israel (baca: Indonesia) harus mengikuti Yesus? Jika toh akhirnya tidak akan diselamatkan.
Hal-hal diatas adalah satu diantara sangkalan tentang keyakinan ajaran kristen yang tidak muncul dari argumen ajaran Islam melainkan muncul dari keyakinan ajaran agama Kristen itu sendiri. Sekiranya dalam kitab yang dijadikan pedoman hidup sudah menyangkal ajaran itu sendiri, bukankah itu satu diantara kelemahan suatu ajaran yang seharusnya ajaran itu sempurna? Bila dalam ajaran suatu agama sudah tidak sempurna, maka kiranya sulit menuju kesempurnaan dalam hidup. Jika kita mempelajari ajaran agama lain lagi maka kita akan menemukan satu persatu kejanggalan tak termaafkan yang melemahkan ajaran itu sendiri, Contoh kasus lain adalah agama Budha. Agama ini berkitabkan Weda yang menjadi pedoman dalam hidupnya. Namun bila kita baca “Apabila orang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha membaca Weda, maka raja harus memotong badannya.”[16]. dari sini cukup jelas bahwa kitab weda hanya boleh dibaca oleh Kasta tertinggi saja, sedangkan kasta rendah maka dilarang membacanya bahkan ancamannya begitu keras, lantas bagaimana orang Budha bisa selamat dalam tujuan hidup bila kitab yang menjadi pedoman hidup itu sendiri tidak boleh untuk diketahui?. Dan itu adalah satu kesalahan besar tak termaafkan yang muncul dari ajaran Budha itu sendiri yang juga sekaligus memperlihatkan ketidak sempurnaan ajaran Budha.
Jika kita tidak mengemukakan ajaran Islam dan hanya kesalahan ajaran lain saja mungkin tidak adil, karena bagaimana dengan ajaran Islam itu sendiri? Adakah kesalahan dalam ajaran Islam bila dilihat dari sisi orang yang sama sekali belum mengenal agama? Maka jawabannya adalah “Tidak ada”. Islam begitu sempurna, dari akidah, kenabian atau kitabnya, karena bila kita mendapati satu permasalahan dalam Islam yang dijadikan satu kelemahan, Maka justru dibalik itu tersimpan suatu kebenaran yang mengungkapkan betapa dahsyatnya kesempurnaan dalam ajaran Islam. Mungkin diantaranya adalah sejarah tentang wahyu pertama. Ketika Rasulullah SAW berada digua Hira lalu didatangi malaikat Jibril sambil berkata “Bacalah” sampai tiga kali. Pertanyaannya mungkin waktu itu apa yang disodorkan kepada Rasulullah. Apakah wahyu itu ditulis diatas sehelai daun lalu Rasul disuruh membaca tulisannya? Ataukah diatas kertas? Atau ditulis dalam suatu apa? Jika daun, maka daun apa? Jika kertas, apakah disurga ada pabrik kertas? Pertanyaan seperti ini ternyata telah dijawab oleh Al-Qur’an itu sendiri. Bahwasanya wahyu turun kepada Rasulullah tidak ditulis diatas daun atau kertas atau benda lain, tapi wahyu Allah turun langsung menuju hati Rasulullah[17], sedangkan yang disuruhkan untuk dibaca, bukanlah tulisan tapi membaca keadaan sekelilingnya dimana waktu itu seluruh manusia masih dalam keadaan yang tersesat dengan mentuhankan berhala. Yang menjadi isyarat bahwa Rasul harus “Qum, Fa andzir!” Bangun dan berilah peringatan.[18]
Permasalahan diatas adalah satu diantara kesempurnaan suatu agama dan kelemahan agama yang lain yang seharusnya menjadi tonggak keyakinan bahwa agama Islam yang kita anut adalah agama yang sempurna. Dan membuat kita yakin dengan pilihan kita sendiri bahwa Islam bukan lagi menjadi satu agama yang dipeluk karena pendidikan dan orang tua yang Islam tetapi merupakan pilihan hati nurani kita sendiri. Karena apabila kita beragamakan Islam hanya karena pendidikan dan orang tua yang Islam, maka Islam kita adalah semu dan apabila kita bertuhankah Allah karena guru kita yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Allah maka kita bertuhankan hanya separuh hati. Keberagamaan yang semu dan ketuhanan kepada Allah yang hanya setengah hati ini yang membuat manusia tidak menginginkan syurga dan takut akan neraka. Keyakinan seperti ini yang membuat manusia tidak lagi mempercayai Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, tidak begitu mengenal kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan tidak begitu peduli dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari mereka yang tidak antusias dengan ibadah, bahkan Sholat yang menjadi tiang agama dan tolok ukur semua amal hanya dijalankan dengan seenaknya sendiri, cenderung diakhirkan dan tanpa kekhusyukan. Lalu Rasulullah yang telah memperjuangkan kita tidak lagi kita mengenal apalagi mencintainya, bahkan beliau yang kita harapkan syafaatnya, sangat jarang kita membaca sholawatnya. Sedangkan Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup dimana didalamnya diterangan dengan jelas jalan menuju syurga dan menuju neraka, jarang sekali dibaca apalagi difahami. Dan ini yang membuat menusia tidak menginginkan syurga dengan tidak mengusahakan meningkatnya kualitas ibadah kepada Sang Khaliq serta tidak takut dengan pedihnya siksa neraka karena masih saja acuh tak acuh menumpuk dosa tanpa ada niat untuk bertaubat kepada-Nya. Lalu kepercayaan kepada Allah yang begitu tipis hingga kita lebih takut dimarahi orang lalu berbohong daripada kita takut kepada Allah akan siksaan bagi orang yang gemar berbohong.
Jalan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas keagamaan kita adalah dengan mengenal lebih dalam tentang Islam, mengenal lebih dekat Tuhan, Allah memang “Ghofuruurrohim” tapi kita juga harus ingat bahwa Allah juga “Syadidul ‘Adzab”. Kita harus mengenal lebih jauh tentang Muhammad agar kita bisa mencintainya dan kita pantas mengharapkan Syafaatnya. Dan sekarang masa sebagai remaja adalah masa yang paling tepat untuk memulai hal itu. Bila kita yang masih remaja bisa memilih Islam karena pilihan kita, karena suara hati kita, karena kita mengenal Allah sebagai Rabb al-‘Izzati yang sangat dekat dengan kita dan selalu siap membantu bila kita memohon kepada-Nya, Karena kita mengenal sekali siapa Muhammad bin Abdillah putra Sayyidati Aminah yang dengan darah terkucur membela keselamatan kita tidak hanya didunia tetapi di hari yang kelak akan kita jalani dan lebih lama, yang sebagai pimpinan negara dan pimpinan Umat sedunia tetapi hanya tidur diatas pelepah korma, dan ikut merasakan lapar lalu mengganjal perutnya dengan batu. Memang dialah manusia sempurna. Tokoh terhebat sepanjang masa, tak tergiur oleh rayuan harta dan tak gentar oleh pedihnya siksaan yang menimpa, bahkan ketika ajal menjelang dia masih saja berkata “Umati… Umati…” inilah sosok yang harus kita cintai melebihi segalanya. Bila generasi muda ini bisa menanamkan hal dan keyakinan ini, Mengetahui bahwa keindahan syurga yang Allah tawarkan begitu indah, merasa selalu diintai oleh Allah hingga begitu takut melakukan kejahatan. Maka tak perlu ditanyakan lagi, bagaimana Indonesia dimasa yang akan datang. Sebuah“Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” akan tercipta, Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo tidak lagi sebuah impian. Insya Allah. Amin. Wallahu ‘alam bisshowab.



Temanggung, Menjelang fajar di Tahun 2006



[1] Drs. Hidajat Nataatmadja – Pengembangan Karsa (IHYA ULUMUDIN) Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Cara Penyembuhannya (AL-FURQAN) – Iqra Bandung 1982
[2] QS. 6 : 74
[3] QS. 6 : 79
[4] QS. 28 : 29-30
[5] QS An-Najm 6-10
[6] QS . 5 :104
[7] Perjanjian lama Kitab Yahya Pasal 17 ayat 3
[8] E. St. Harahap, Kamus Bahasa Indonesia cetakan ke II
[9] Perjanjian lama Kitab Ulangan pasal 4 ayat 35
[10] Perjanjian Baru Kitab Markus pasal 12 ayat 29
[11] Perjanjian baru Kitab Lukas pasal 4 ayat 5
[12] Mazmur pasal 29 ayat 27
[13] Perjanjian baru Kitab keluaran pasal 4 ayat 22 dan 23
[14] Perjanjian Baru Kitab Irmia pasal 31 ayat 9
[15] Matius pasal 15 ayat 24
[16] Kitab Weda Gotama Smarti halaman 12
[17] QS. Asy-Syu’ara ayat 196
[18] QS. Al-Mudatsir ayat 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar